Presidential Threshold Dihapus, Komisi II Siap Bahas Revisi UU Pemilu Bersama Pemerintah

Presidential Threshold Dihapus, Komisi II Siap Bahas Revisi UU Pemilu Bersama Pemerintah

Pedomanrakyat.com, Jakarta – Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan pihaknya siap berkolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam rangka menyusun naskah revisi UU Pemilu.

Terlebih lagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Legislator Partai NasDem itu menjelaskan, sejatinya RUU Pemilu sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025 dan menjadi usulan DPR.

Berarti DPR yang akan menyusun draf dan naskah akademik RUU tersebut. Meski demikian, pihaknya mendengar bahwa Kemendagri juga tengah menyusun dokumen tersebut.

“Kami akan menyusun, dan saya dengar Mendagri juga sedang membentuk tim kecil untuk menyusun. Kita lihat saja nanti mana yang duluan. Prinsipnya, kami (Komisi II) dan pemerintah siap berkolaborasi untuk menghadirkan penataan sistem politik dan demokrasi konstitusional ke depan yang lebih baik,” ujar Rifqi dalam keterangan tertulis, Senin (6/1/2025).

Terkait alat kelengkapan dewan (AKD) mana yang akan membahas RUU Pemilu, ia mengaku belum ada keputusan apapun di DPR. Begitu pula jika pembahasan RUU Pemilu disatukan dengan RUU lain, seperti RUU Pilkada dan RUU Partai Politik, menjadi RUU Omnibus Law Politik, DPR belum memutuskan AKD mana yang akan membahasnya.

“Prinsipnya, kami (Komisi II) dan pemerintah siap berkolaborasi untuk menghadirkan penataan sistem politik dan demokrasi konstitusional ke depan yang lebih baik” ujarnya.

“Mengingat belum ada keputusan apapun, saya kira belum ada yang boleh mengklaim di mana pembahasan itu akan dilakukan. Karena itu akan dibahas dan diputuskan pada rapat Badan Musyawarah DPR yang isinya terdiri dari pimpinan DPR, pimpinan fraksi, dan pimpinan alat kelengkapan DPR,” tambah Rifqi.

Meski demikian, Rifqi menilai AKD yang paling berwenang membahas RUU Omnibus Law Politik adalah Komisi II DPR, bukan Baleg DPR. Secara konvensional, pembahasan RUU sektoral selalu diberikan kepada komisi yang membidangi.

Sedangkan Tugas Baleg sebagaimana ketentuan tata tertib DPR, adalah melakukan proses harmonisasi dan sinkronisasi program legislasi di DPR. Bukan mengambil alih legislasi atau kewenangan legislasi yang ada di AKD.

Legislator dari Dapil Kalimantan Selatan I itu menegaskan, Komisi II DPR telah mengusulkan metode omnibus law RUU Politik kepada pimpinan DPR sejak November 2024. Sementara pembentukan norma baru untuk mengantisipasi kandidat presiden-wakil presiden yang terlalu banyak, sangat mungkin dilakukan.

Apalagi, dalam putusannya, MK memberikan sejumlah indikator kepada DPR dan pemerintah yang disebut constitutional engineering atau rekayasa konstitusional.

“Dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan ilustrasi, jika ada banyak sekali parpol peserta pemilu, misalnya 30 parpol, keseluruhannya mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden, hal tersebut mengharuskan pembentuk UU, dalam hal ini pemerintah dan DPR untuk melakukan constitutional engineering dengan lima indikator yang disebutkan oleh MK,” paparnya.

Hal ini, lanjutnya, ditujukan agar kualitas demokrasi kita tetap baik. Dengan kata lain, constitutional engineering agar tidak terjadi liberalisasi demokrasi presidensial di Indonesia.

“Bagaimana nanti bentuknya, ya kita lihat pembahasan di Komisi II DPR,” urai Rifqi.

Dalam putusan MK tentang penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, MK mengusulkan pembentuk UU melalui revisi UU Pemilu dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan lima hal.

Pertama, semua parpol peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wapres. Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wapres oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wapres, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai atau gabungan partai sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wapres serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wapres dikenai sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggara pemilu, termasuk partai yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). (*)

Berita Terkait
Baca Juga